Kawal Kasus Kekerasan Seksual UNRI, Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual Gelar Aksi Simbolik

Eric Wirayudha
3 min readDec 1, 2023

--

Masyarakat dari berbagai daerah menggelar aksi simbolik.

Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual menggelar aksi simbolik pada Senin (13/6/22) di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Pada awalnya, aksi ini direncanakan akan digelar di depan Gedung Mahkamah Agung. Namun, akibat tertahan oleh pihak kepolisian dengan alasan izin yang diajukan terlalu mendadak, aksi simbolik ini pun harus dialihkan ke Patung Kuda.

“Menurut pihak kepolisian, surat pemberitahuan aksi harus diserahkan 3 x 24 jam sebelum aksi dimulai. Dan kita memberikan suratnya pada hari Minggu (H-1 Aksi digelar). Kita coba negosiasi. Namun, aksi tetap enggak bisa digelar di depan Mahkamah Agung,” ungkap Fadli selaku koordinator lapangan dari BEM UPNVJ.

Orasi digelar di depan Monas yang mempertanyakan kejelasan dari kasus kekerasan seksual UNRI.

Puluhan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual mendesak Mahkamah Agung untuk mengawal secara serius kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Negeri Riau. Sebab, pelaku yang merupakan dosen pembimbing sekaligus dekan tersebut sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Riau.

“Saat itu, korban sedang melakukan bimbingan skripsi. Ada asisten dosen berjumlah dua orang. Namun, pada saat kejadian, mereka sedang tidak berada di ruangan. Dan saat itulah, kekerasan seksual terjadi. Kemudian, korban melaporkan kejadian itu agar keadilan bagi dirinya dapat ditegakkan. Namun, pelaku justru divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Riau,” jelas Anisa Rumondang selaku Kepresma Trisakti.

Desakan diberikan kepada Mahkamah Agung.

Tidak cukupnya saksi menjadi alasan Pengadilan Negeri Riau memberikan vonis bebas kepada pelaku. Padahal, saat pengujian menggunakan lie detector, pelaku terbukti memberikan keterangan palsu. Meskipun begitu, pihak pengadilan tetap bersikeras bahwa pelaku tidak bersalah.

Vonis bebas atas terdakwa kasus kekerasan seksual yang terjadi di UNRI merupakan berita yang memilukan dan menjadi pukulan telak bagi semua organ yang telah memperjuangkan keadilan untuk korban-korban kekerasan seksual. Putusan tersebut memberikan sinyal bernuansa pesimistik bagi korban-korban lainnya yang telah atau akan melapor kepada penegak hukum. Harapan dan perjuangan yang telah dibangun untuk penegakan hukum progresif terhadap kasus kekerasan seksual seolah sirna begitu saja akibat vonis ini.

Integritas dipertanyakan, Mahkamah Agung berpihak kepada pelaku atau menegakkan keadilan?

Oleh sebab itu, Koalisi Anti Kekerasan Seksual mendesak Mahkamah Agung untuk segera melakukan eksaminasi terhadap Pengadilan Negeri Riau. Dilansir dari hukumonline.com, eksaminasi sendiri adalah suatu bentuk pengujian atau penilaian dari sebuah putusan (hakim) apakah pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan apakah prosedur hukum acaranya telah diterapkan dengan benar, serta apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat.

“Kami sangat berharap Mahkamah Agung mengadili pelaku kekerasan seksual ini, bukan bebas seperti putusan Pengadilan Negeri Riau. Karena orang seperti dia tidak layak dibebaskan!” tegas Muhammad Dziqirullah selaku koordinator lapangan dari Sekretariat Politik Pemuda.

Dilansir dari CNN Indonesia terkait kasus terkait, Putusan dibacakan pada Selasa, 9 Agustus 2022. MA menolak kasasi jaksa dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru yang menyatakan terduga pelaku divonis bebas.

Hal ini berdasarkan pertimbangan pertama, tidak ada bukti kekerasan dan pengancaman yang dialami korban oleh terduga pelaku. Karena dakwaan primer tidak terbukti, dakwaan tidak dapat diterima.

Kedua, tak ada bukti bahwa terdakwa dengan kedua tangannya memegang tubuh korban. Ketiga, hakim menilai tidak ada saksi yang dapat membuktikan terjadinya kekerasan seksual. Sebab, semua saksi di kasus tersebut hanya mendengar testimoni dari korban.

Terbukti kekerasan seksual masih menjadi momok yang mengerikan bagi korban, terkhusus mereka yang tidak memilik “power”. Semoga kedepannya hukum bisa diterapkan tanpa pandang bulu di negeri kita.

--

--

Eric Wirayudha
Eric Wirayudha

Written by Eric Wirayudha

Mahasiswa Teknologi Rekayasa Multimedia Politeknik Negeri Media Kreatif | Redaktur Majalah Ketik

No responses yet